Mengajar anak-anak disabilitas
Sekarang ini, cabang-cabang entrepreneurship semakin berkembang, salah satunya adalah sociopreneurship, alias kewirausahaan yang berbasis kegiatan kemanusiaan.
Kebetulan, beberapa waktu lalu Youthmanual kenalan dengan seorang sociopreneur muda Tasikmalaya yang semangat banget memajukan daerah di luar kota. Semangatnya hebat, deh, gaes!
Namanya Muhammad Abdul Karim, yang akrab disapa Karim. Social entrepreneur
ini adalah alumnus program Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada
2012/2013, juga alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada
Tasikmalaya, jurusan Farmasi. Kini Karim aktif sebagai Direktur
Eksekutif organisasi Sahabat Pulau dan founder sekaligus CEO wadah pemuda Tasikmalaya, bernama HUB Tasikmalaya.
Bersama Sahabat Pulau, Karim aktif di
kancah internasional lewat program-program pengembangan anak muda di
dunia. Mereka udah melanglang buana, lho, dari Nepal sampai markas besar
PBB di New York.
Yuk, kenalan lebih dekat sama cowok kece ini!
Halo Karim! Aktivitas kamu sekarang apa aja, nih?
Halo juga! Sekarang ini saya lagi aktif sebagai Direktur Eksekutif Sahabat Pulau, sebuah organisasi yang bergerak di bidang volunteering dan community development.
Saya juga aktif sebagai pengusaha metal works dan perabotan muliaabaditasik.com
Kapan dan bagaimana, sih, kamu sadar bahwa passion kamu adalah sociopreneurship?
Dulu, sekitar tahun 2009, saat masih
kuliah di Tasikmalaya, saya merasa harus belajar berbisnis, walaupun
belum tahu mau berbisnis apa.
Tiba-tiba saya kepikiran jualan donat dan
nasi kuning, gara-gara saya kenal sama seorang ibu-ibu yang biasa
membuat donat rumahan dan bisa diajak kerjasama.
Alhasil, setiap hari, sebelum mulai
kuliah, saya dan dua orang teman berkeliling dari kampus ke kampus untuk
menawarkan atau menitipkan donat dan nasi kuning kami untuk dijual di
kantin mereka.
Hasil dari penjualannya lumayan. Setiap
hari, donat dan nasi kuningnya sering habis terjual, tapi kadang-kadang
nggak. Kalau jualan kami lagi nggak habis terjual, biasanya kami membawa
donat-donat yang nggak terjual tersebut ke panti asuhan, untuk
diberikan kepada anak-anak di sana.
Setelah beberapa lama menjalani usaha tersebut, saya melihat dua hal yang membuat saya ingin mempelajari sociopreneurship.
Pertama, saya melihat si ibu pembuat
donat—dan rekan-rekan yang membantunya—jadi seperti punya semangat dan
pengharapan baru, karena mereka jadi bisa punya usaha sampingan untuk
meningkatkan pendapatan keluarga mereka.
Kedua, setiap kali kami mendonasikan
donat-donat yang nggak terjual ke anak-anak panti asuhan, mereka suka
bilang, “Kak, besok bawa donatnya lagi, ya! Kita suka, lho.” Sanjungan
dari anak-anak itu nggak cuma bikin saya bahagia, tapi juga jadi semacam
do’a. Soalnya, setiap mereka ngomong begitu, besoknya memang ada aja
kue donat yang nggak terjual, sehingga mereka bisa mendapatkan donat
gratis lagi dari saya, hahaha.
Hehehe, lucu aja, sih, tapi dua hal itu lah yang membuat saya ingin terus terlibat dalam sociopreneurship.
Program itu juga salah satu pendorong terbesar saya untuk terjun ke bidang sociopreneurship.
Prospek karir sociopreneur di Indonesia menurut kamu gimana?
Prospeknya besar sekali, lho! Tapi tergantung kepada jenis bisnis yang ditekuni, dan objek sosial penerima manfaatnya, sih.
Misalnya, gini. Saya merasa peluang menjadi sociopreneur yang mengembangkan daerah pedesaan lebih besar dibandingkan peluang menjadi sociopreneur
di kota-kota besar. Soalnya, di pedesaan, masih banyak banget Sumber
Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum terkelola
secara maksimal.
Oleh karena itu, saya mengajak para
inovator muda untuk aktif mengembangkan pengelolaan SDA dan SDM di
daerah. Nggak hanya supaya nilai ekonomi SDA dan SDM di sana jadi
tinggi, tapi juga supaya masyarakat objek sosial di sana bisa
berkembang, mandiri, dan terjaga orisinalitasnya.
Seperti yang kebanyakan orang tahu,
perkembangan pengetahuan, alih teknologi, serta inovasi di daerah itu
masih lambat, sehingga perlu banget didorong oleh para inovator muda.
Apa hal yang paling kamu sukai dari menjadi seorang sociopreneur?
Lucunya, hal yang paling saya sukai dalam berbisnis adalah ketika mengalami momen genting atau hectic. Bahasa Sundanya, paciweuh! Contohnya misalnya saat omzet turun, saat pusing mengatur program, dan sebagainya.
Sebaliknya, apa tantangan menjadi seorang sociopreneur?
Tantangannya terasa saat harus membuat keputusan. Soalnya bidang sociopreneur ‘kan menggabungkan ilmu bisnis dan sosial, sehingga seorang sociopreneur harus berfikir lebih komprehensif dari kedua sisi tersebut.
Cerita,
dong, tentang Sahabat Pulau dan Tasik Hub Project! Mulai dari
konsepnya, misinya, proses operasinya, sampai kegagalan dan
kesuksesannya.
Sahabat Pulau adalah organisasi berbasis
aksi kepemudaan yang bertujuan menyelesaikan masalah pendidikan pemuda
dan anak-anak di seluruh Indonesia.
Sahabat Pulau juga melakukan pemberdayaan berbasis socio-entrepreneurship untuk wanita pesisir dan pemberdayaan yang berkelanjutan.
Sekarang ini, aktivitas Sahabat Pulau
telah tersebar di 28 titik di berbagai wilayah di Indonesia, dan telah
mengembangkan komiditi di tiga desa. Boleh cek situsnya, ya, di
sahabatpulau.org.
Sementara untuk HUB Tasikmalaya, idenya
datang karena saya sendiri ‘kan anak muda Tasik, dan saya ingin
melakukan sesuatu untuk daerah saya.
Maka suatu hari, terfikir lah untuk
membuat sebuah wadah, agar anak-anak muda Tasik bisa saling berbagi ide
dan membuat inovasi yang bisa dikontribusikan kepada kota Tasikmalaya.
Inginnya, sih, HUB bisa menjadi pusat informasi dalam bidang pengembangan pendidikan, sosial dan ekonomi.
Trus, berkat berkolaborasi, HUB bisa ikut
berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan diskusi atau event.
Misanya, pada tahun 2015, dengan bekerja sama bareng Sahabat Pulau dan
Intel Indonesia, HUB pernah menyelenggarakan Digital Literacy Class untuk anak-anak muda yang memiliki startup di Tasikmalaya.
Trus, di tahun yang sama, kami mengadakan perayaan International Youth Day,
berkolaborasi dengan komunitas-komunitas di Tasikmalaya, seperti
komunitas lingkungan, Kelas Inspirasi Tasik, komunitas kuliner,
komunitas fotografi, komunitas cosplay, dan sebagainya.
Kami membuat perayaan ini karena kami
ingin menunjukkan bahwa sebenarnya banyak anak-anak muda daerah yang
sadar akan isu-isu internasional.
Pengalaman apa yang paling berkesan selama mengurus Sahabat Pulau dan Tasik Hub Project?
Saya pernah, nih, berkunjung ke sebuah
pulau selama dua hari, untuk mengajar dan memantau aktivitas
perpustakaan. Setelah dua hari, saya pergi ke dermaga kapal untuk
pulang. Tiba-tiba saya dipanggil oleh seorang ibu paruh baya, yang
ternyata adalah orang tua salah satu anak yang telah belajar sama saya
selama dua hari di perpustakaan.
Beliau memberi saya bertandan-tandan
pisang hasil kebunnya untuk dibawa ke kota. Beliau bilang, “Dek Karim,
Ibu tahu kamu perlu ongkos untuk bisa kesini, dan ongkosnya nggak
sedikit. Bawa oleh-oleh ini untuk dijual kalau memungkinkan.
Mudah-mudahan nanti kamu bisa ke sini lagi, ya, buat ngajarin anak Ibu,
biar dia bisa jadi guru kayak kamu nanti.”
Perbincangan sederhana di dermaga itu lah salah satu alasan saya terus bertahan di Sahabat Pulau dan HUB.
Waktu kuliah, bagaimana, sih, profil dan aktivitas kamu secara garis besar?
Saya sempat jadi presiden mahasiswa dan didaulat menjadi mahasiswa berprestasi, sehingga mendapatkan beasiswa kuliah dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Saya juga sering cari-cari info kegiatan,
mulai dari lomba akademis sampai konferensi-konferensi tingkat nasional
dan dunia dalam berbagai bidang.
Intinya, selama kuliah, saya berusaha aktif berorganisasi, tapi tentunya sambil menjaga nilai akademik juga, ya.
First job kamu dulu apa? Ceritain, dong!
My first job adalah menjadi Project Supervisor.
Dulu, nggak lama setelah lulus kuliah, saya ditawari Kemenpora dan Canada World Youth untuk ikut seleksi menjadi calon Project Supervisor sebuah program community development, yang melibatkan 18 mahasiswa asing dari Kanada.
Rencananya, mereka bakal live-in
di Indonesia selama tiga bulan untuk melaksanakan program inisiasi dan
pemberdayaan bagi masyarakat. Awalnya saya nolak, karena saya tahu
tugas tersebut nggak mudah, sementara ilmu serta pengalaman saya belum
cukup banyak.
Saya mikirnya, “Pasti ribet, nih, bro!”
Hahaha. Namun setelah mikir selama dua minggu, saya memutuskan, kenapa
nggak coba aja? Soalnya sebenarnya program ini adalah bidang yang saya
suka juga, sih. Community development ‘kan membantu masyarakat.
Akhirnya, dengan modal nekad, saya
menerima pekerjaan tersebut. Saya pun mensupervisi program itu, mulai
dari tahap persiapan sampai penutupan, selama total lima bulan.
I could say, it was an amazing experience for me untuk
mengurus 18 orang dan masyarakat satu desa, serta harus berkoordinasi
dengan Karang Taruna, RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Imigrasi,
Kementerian sampai kantor Kedutaan Besar untuk keperluan program ini!
Fiuh!
Padahal awalnya saya nggak yakin bisa
menjalani itu semua. Untungnya saya nekad, karena lewat program
tersebut, saya jadi bisa learning by doing tentang bagaimana mengelola
sebuah program community development.
Saya bahkan melanjutkan pekerjaan ini ke tingkat yang lebih tinggi. Setelah program tersebut selesai, saya lanjut menjadi Sector Project Officer yang memfasilitasi 60 orang peserta program pertukaran Pemuda Indonesia dan Canada, yang tersebar di tiga pulau.
Pengalaman ini membuat saya mantap untuk terjun di bidang sociopreneur.
Apa skill yang kamu pelajari di luar bangku sekolah, tapi bermanfaat untuk profesi kamu sekarang?
Public speaking kali, ya. Buat saya, kemampuan public speaking—berdiskusi, menyampaikan ide, presentasi, bersosialisasi dengan manner yang baik—adalah skill yang sangat menunjang aktivitas saya sekarang ini.
Saya, sih, menyarankan banget siapa pun—termasuk mahasiswa—belajar public speaking. Kalau bisa, silahkan ambil kursusnya. Kalau nggak bisa, banyak-banyak nonton Youtube aja kayak saya, hehehe. Misalnya, channel TEDx.
Boleh cerita tentang satu contoh kegagalan kamu dalam karier ataupun studi? Apa yang bikin kamu kembali bersemangat?
Pada tahun 2009, saya sempat down banget karena nggak lolos SNMPTN di jurusan yang sudah saya harap-harapkan selama dua tahun.
Saya sempat kepikiran nggak usah kuliah
aja, dan melanjutkan bisnis bengkel otomotif yang saya rintis. Namun
saat itu, ibu saya bilang, “Menuntut ilmu itu bisa dimana aja. Yang
penting, pada akhirnya, kehadiran kamu sebagai manusia bisa bermanfaat
untuk sesama, nusa bangsa, dan agama.”
Seperti habis minum energy drink,
saya pun memaksakan diri untuk kuliah meskipun tanpa semangat dan
dengan perasaan yang nggak karu-karuan karena masih kecewa. Kurang
lebih, selama satu semester pertama kuliah, saya masih “terganggu”
karena pikiran, “Kok Tuhan nggak adil, yah? Nggak mewujudkan impian
saya. Padahal saya sudah berusaha dan berdoa keras, kok.”
Tapi ternyata Tuhan memang akhirnya
menjawab do’a saya ketika SMA dulu, Bertahun-tahun kemudian, saya
diundang oleh United Nations dan bisa bertemu SekJen PBB Mr. Ban Ki
Moon. Alhamdulillah…
Kenapa nggak berkarier di bidang Farmasi sesuai pendidikan kamu?
Sebenarnya, sih, ujung-ujungnya saya saya akan berkarier di bidang Farmasi, kok. Tapi sekarang ini, saya masih memprioritaskan kerja saya di bidang community development.
Mudah-mudahan tahun depan saya bisa
melanjutkan studi di bidang profesi Apoteker, karena rencananya tahun
ini saya mau kuliah Master di bidang Social Works dulu.
***
Seperti yang disebut dalam banyak survei,
Generasi Milenial memanglah generasi yang peduli banget dengan isu-isu
sosial, sehingga nggak heran kalau semakin banyak anak muda sekarang
yang tertarik dengan sociopreneurship. Mungkin kamu mau mengikuti jejak
Karim?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar